Cerita-cerita (racconti)

Menikmati Matahari di Roma

Tidak ada kota yang lebih indah di dunia ini daripada Roma di bulan Mei. Saat matahari bersinar terang, langit biru cerah tanpa polusi sedikitpun, udara sejuk cukup hangat, Piazza di Spagna diselimuti bunga-bunga warna-warni yang bermekaran, dan turis belum terlalu memadati jalan-jalan utama. Nikmat!

Banyak orang Indonesia yang kurang menyukai Roma karena alasan kotor, dan semrawut, padahal sebenarnya jauh lebih bersih daripada Bandung, Bogor, atau Jakarta Utara. Tapi kalau dibandingkan kota-kota di Swiss memang lebih kotor sedikit, terutama karena coretan-coretan di dinding yang kadang sangat mengganggu.

Buat gue keindahan kota itu nggak terlalu bergantung sama kebersihannya, tapi lebih kepada keindahan arsitektur, pola tata ruang kotanya, dan nilai sejarahnya. Roma punya semuanya, malah yang paling indah dan paling lengkap di dunia. Setiap sudut kota ini seakan ingin menceritakan goretan sejarah dari periode kekaisaran Romawi 2000 tahun yang lalu, kejayaan gereja katolik pada abad pertengahan, jaman rennaisance, baroque, periode fasisme Mussolini, sampai masa akhir Perang Dunia II. Semuanya meninggalkan bekas yang terawat sempurna.

Menikmati keindahan kota ini berarti musti sedikit mengerti mengenai sejarahnya, atau setidaknya menunjukkan ketertarikan untuk ingin tahu ada sejarah apa dibalik bangunan-bangunan megah di depan lo yang sudah berusia ribuan tahun.

Kebetulan gue kuliah arsitektur yang khusus membahas mengenai restorasi bangunan tua, dan untungnya di perkuliahannya itu banyak observasi lapangannya, jadi gue bisa mengerti sejarah dari tiap bangunan penting di Roma.

Hari-hari gue di roma banyak dihabiskan bersama seorang teman dekat asal Kolombia, namanya Diana. Doi ini tipe perempuan mandiri, cantik, tinggi 180 cm, pintar, mantan model, suka cerita, tapi kurang ekspresif secara mimik.

Dengan dukungan kakinya yang panjang semampai, Diana ini bisa berjalan dengan kecepatan melebihi perempuan normal. Bahkan terkadang melebihi kecepatan pria eropa sekalipun. Membandingkan kecepatan berjalan Diana dengan wanita Indonesia, ibarat membandingkan kecepatan berjalan Burung Unta betina dengan Singa Laut di darat. Terkadang untuk mengimbanginya berjalan, gue harus berlarian sambil bawa pengukur denyut nadi… Yah itung-itung bakar kalori.

Untuk banyak hal gue sama Diana sering sepaham, salah satunya adalah kita berdua menganggap Roma kota paling indah di dunia.

Menjelajah Kota Abadi ini lazimnya dimulai dari awal sejarah bermula, yaitu daerah Palatino dan Roman Forum. Palatino adalah tempat perumahan serta Villa rakyat Romawi dua ribu tahun yang lalu. Di bukit ini pula legenda Romulus dan Romus sepasang anak yang disusui serigala itu berawal.

Untuk masuk Palatino ada tiketnya yang bisa dibeli barengan dengan tiket masuk Coloseum. Buat kebanyakan orang Indonesia, mungkin masuk Palatino ini nggak penting, tapi gue sama Diana menemukan kedamaian di lokasi yang menyimpan banyak sekali sejarah ini.

Siang itu kuliah Teknik Restorasi mengunjungi reruntuhan Palatino. Gue dan Diana seperti biasa bersemangat sekali untuk tiap perkuliahan di luar kelas, kita datang paling awal dan berdiri selalu di dekat professor yang lagi menjelaskan. Kalau gue sih lebih kepada alasan supaya ngerti. Maklum kendala bahasa, jadi gue harus konsentrasi penuh untuk bisa mengerti bahasa Italia sang profesor yang banyak mengandung istilah-istilah teknis.

Biasanya kegiatan mendengarkan kuliah profesor ini nggak berlangsung lama, setelah sejam, otak biasanya sudah nggak bisa menerima vokabulari-vokabulari asing. Saat itu biasanya gue sama Diana udah kedip-kedipan untuk melipir perlahan, menjauh dari profesor, terus kabur.

Palatino sendiri sebenarnya sudah besar sekali untuk dijelajahi. Reruntuhan-reruntuhan romawi dengan taman yang terawat indah, burung-burung yang berkicauan, membuat kesan mistis dan sejarah pahit yang disimpan tempat ini seakan sirna. Nggak kebayang kalau di tanah yang gue pijak ini hampir dua ribu tahun yang lalu pernah terjadi kerusuhan luar biasa akibat pembakaran kota oleh Kaisar Nero.

Kita berdua melamun di bukit Palatino sambil melihat ke Circo Massimo lewat celah reruntuhan bangunan romawi yang dulunya adalah jendela. Diana sesekali berkomentar,

“Ndra lo pernah nonton Ben Hur nggak? Pas pertama kali nonton film itu gue nggak kebayang lo kalau tempat di film itu ada beneran…”, tanya Diana sambil memandang ke arah Circo Massimo.

“Iya ya, nggak kebayang juga kalau tempat aslinya ternyata ada di depan mata kita ini… Kaya mimpi sih. Mimpi gue aja biasanya nggak se-realistis ini. “

“Emang terakhir mimpi apa?”, sambil langsung menengok ke arah gue.

“Mimpi basah, tapi sama Beyonce… Nggak mungkin kan?”, jawab gue datar.

Ma sei scemo!”, umpat Diana pake bahasa Italia yang artinya kurang lebih artinya; “Bego loh!”

Siang itu kita memutuskan untuk berkeliling objek wisata di Roma, ber-akting sebagai turis, mewujudkan mimpi yang kini sudah real di hadapan kita.

Banyak yang nggak tau kalau di dekat Circo Massimo ada suatu taman milik vatican yang sangat menarik, yaitu Aventino. Di taman yang simetris ini kita bisa melihat kubah Gereja San Pietro tepat di ujung axis-nya. Lucunya jika kita mendekat, kubah itu justru terlihat menjauh. Naik ke atas lagi sepanjang Via di Santa Sabina sampai mentok kita akan menemukan suatu gerbang taman milik Vatikan yang terkunci.

Yang paling menarik adalah kalau kita mengintip dari lubang kunci gerbang itu, kita akan melihat pas sekali Kubah Gereja San Pietro di lurusan mata kita, dengan pohon-pohon di taman dalam gerbang itu sebagai bingkainya. Mengagumkan, karena hal sekecil ini terpikirkan dan terencana, sehingga segala sesuatu yang dimiliki Vatikan memang diarahkan menghadap ke kubah San Pietro, sampai ke lubang kunci sekalipun.

Dari Aventino kita turun kebawah, naik bus sampai vatikan. Beruntung buat gue dan Diana yang memegang abonemen bulanan, karena cuma dengan € 18 untuk pelajar dibawah 26 tahun, kita sudah bisa naik public transportation apapun di Roma. Sebenarnya harga tiket bus di Roma juga nggak mahal kok, bisa dibilang yang paling murah di Eropa. Tiket bus cuma seharga € 1 untuk 75 menit, dan € 4 untuk seharian. Buat turis juga ada pilihan yang ekonomis, yaitu membeli tiket tiga harian, Cuma € 11.

Ngomongin trasportasi publik di kota ini bisa jadi buku sendiri, karena setiap hari pasti ada aja hal menarik sampai menyebalkan yang gue temui di dalam bus dan metro kota ini. Yang jelas, berbeda dari kota besar Eropa yang lain, di Roma ini cuma ada dua line Metro (kereta bawah tanah), Metro A dan Metro B. Untuk kota sebesar ini dua jalur metro tentunya kurang banget, tapi ini semua karena menggali bawah tanah Roma itu nggak segampang di Kota-kota lainnya. Setiap kali menggali, mereka selalu menemukan situs atau benda-benda purbakala yang menyebabkan proses penggalian harus dihentikan, atau jalurnya harus dibelokkan. Sekarang sih lagi dibikin jalur Metro C, tapi nggak tau deh kapan selesainya.

Kalau metro jadwalnya masih bisa diandalkan, bus beda lagi. Buat orang yang biasa di Jerman pasti sebel sama kondisi bus di roma. Jadwal keberangkatan bus nggak jelas, nyampenya juga nggak jelas. Kadang-kadang nunggu bus bisa lama banget, tapi kadang-kadang juga bisa sangat cepat. Untungnya untuk bus-bus yang biasa melayani jalur turis frekuensinya lumayan banyak.

Siang itu, seperti hari-hari biasanya di roma, gue sama Diana nemuin dua orang yang lagi berantem sampai maki-makian di dalam bus. Yang satu seorang nenek-nenek, yang satu lagi seorang wanita berkulit hitam dengan baju yang sangat seronok. Gara-garanya cuma si nenek kayaknya mengharapkan wanita berkulit hitam yang lagi duduk di kursi khusus manula dan ibu-ibu hamil itu untuk berdiri mempersilahkan si nenek untuk duduk. Merasa nggak punya kewajiban untuk mempersilahkan nenek-nenek itu untuk duduk, wanita itu cuek dengan MP3 playernya. Si nenek yang merasa berhak duduk disana dan yakin si wanita kulit hitam tidak akan mendengar, langsung menggerutu dengan kata-kata berbau rasis dengan nada lumayan keras. Ternyata musik di ear phone si wanita kulit hitam tidak cukup keras untuk mengaburkan suara si nenek yang sedang menggerutu. Merasa dilecehkan, wanita itu langsung menghardik si nenek yang langsung disambut dengan makian yang nggak kalah kerasnya. Pertengkaran itu berlangsung lama sampai saat gue dan Diana harus turun, mereka masih sambut-sambutan, hina-hinaan yang sumpah nggak enak banget di dengarnya.

Kita berdua sih sudah nggak heran lagi sama situasi tadi, toh itu sudah jadi pemandangan sehari-hari disini. Dan itu juga yang bikin gue salut sama orang Italia. Mereka bisa adu mulut kata-kataan, tapi nggak ada satupun yang mulai main fisik.

Sebenarnya suhu udara nggak terlalu panas hari ini, tapi situasi tadi emang bikin suasana hati agak panas, jadinya kita memutuskan untuk neduh di dalam gereja San Pietro. Satu hal yang gue suka dari roma adalah banyak objek wisata yang gratis, bahkan untuk gereja terbesar dan termegah di dunia, San Pietro atau Santo Petrus, atau Saint Peter.

Dari luarnya saja gereja ini sudah mengagumkan. Plaza berpilar yang luas dilengkapi satu obelisk ditengah dan dua air mancur di kanan kirinya ternyata memiliki tata letak serta arsitektur yang sangat diperhitungkan secara filosofi. Misalnya di lantai-lantainya terdapat blok-blok bertuliskan nama-nama rasi bintang dalam astrologi, yang tata letaknya memang disesuaikan dengan rasi bintang di langit. Kemudian jika kita berdiri di titik tengah plaza ini, susunan pilar-pilar yang ada di sekeliling kita akan tampak seperti satu pilar yang berbaris.

Ini sudah bukan pertama kalinya gue masuk San Pietro, malah kalau itung-itung sudah lebih dari delapan kali, tapi tetap saja gue selalu ternganga melihat detil dekorasi tiap sudut dinding, atap sampai ubinnya.

Pengalaman seru gue kesini adalah saat jadi guide tamu dari KBRI Paris. Waktu itu tamunya adalah sepasang suami istri umur 40-an dan orang tuanya yang berumur 70-an. Pasangan kakek nenek ini terlihat kuat dan bersemangat, meskipun tidak dapat dipungkiri usianya sudah uzur. Saat gue menawarkan untuk naik sampai ke puncak kubah San Pietro, mereka sangat antusias nggak mau kehilangan momen berharga ini. Mungkin sebelumnya nggak terbayang oleh mereka kalau harus mendaki ratusan anak tangga yang sempit dan berkelok-kelok.

Untuk mencapai puncak kubah San Pietro, ada tiket yang harus dibayar seharga € 7 naik lift, atau € 5 naik tangga. Naik lift sendiri itu sebenarnya Cuma setengah jalan sampai ke atap gereja. Untuk naik ke kubahnya musti tetap naik ratusan anak tangga lagi.

Sepasang kakek nenek itu awalnya sangat bersemangat, sampai di tangga yang keseratus pendakian mulai tidak lancar. Sempat khawatir kalau nanti tiba-tiba jantungnya kambuh, jadi kita banyak berhenti, sambil bikin macet antrian orang yang juga sedang naik tangga. Setiap ada belokan kita pasti berhenti, duduk sebentar untuk minum. Kebetulan waktu itu gue lagi puasa, tapi karena sudah terbiasa jadi pendakian seperti ini tidak masalah buat gue. Sedikit demi sedikit kondisi mereka mulai menghawatirkan, namun semangatnya patut diacungi jempol. Mereka masih bisa bercanda sambil membayangkan orang-orang yang memilih naik tangga dari bawah.

Setelah sampai di puncak, melihat indahnya pemandangan dari atas, perjuangan naik tangga tadi seakan terbayarkan, setidaknya buat gue…. Tapi ternyata nggak buat mereka. Bukannya langsung antusias melihat pemandangan kota roma dari titik tertingginya, mereka malah duduk di pinggiran, kipas-kipasan, minum sesekali, dengan napas yang terengah-engah. Terpancar ekspresi kapok dari muka mereka, tapi kayaknya karena nggak enak, mereka masih tersenyum setiap kali melihat kearah gue. Dalam hati mungkin mereka mau teriak, “Sialaaannn nih anak asik-asik menjebak gueeee!!”

Diana masih sibuk motret-motretin detil interior San Pietro, sementara gue sudah mulai bosan dengan ornamen emas serta ukiran-ukiran religius khas gereja yang memang tiap hari gue lihat di seluruh penjuru kota ini.

Menunggu di salah satu sudut pilar Piazza San Pietro ternyata memberikan sensasi kedamaian tersendiri, meskipun di siang hari bolong. Gue bisa terhibur hanya memperhatikan sekawanan burung merpati yang nggak pernah kenyang perut, ibu-ibu gypsy beserta anaknya yang nggak pernah kenyang memandang dompet para turis yang tampak lengah, puluhan pasangan pemadu kasih yang kayaknya nggak pernah kenyang birahi, atau hanya melihat gerombolan biarawati yang justru belum pernah merasakan kenyangnya birahi. Pemandangan ini lama-lama bikin lapar.

Sebagai mahasiswa yang menggantungkan kehidupan dari beasiswa yang pas-pasan, restoran Italia di pinggiran piazza nggak mungkin jadi pilihan makanan sehari-hari. Budget buat sekali makan siang maksimal € 5, itu juga sudah kebanyakan. Kalau Nggak lagi diluar atau nggak lagi kuliah gue biasanya masak sendiri dengan budget € 20 buat makan kurang lebih seminggu. Itupun makanan gue nggak melarat kok, yang pasti lengkap dengan pasta atau nasi, daging dan salad. Kalau makan di restoran mah € 20 itu buat sekali makan, bahkan kadang-kadang kurang.

Sekarang pertanyaannya dengan € 5 itu bisa makan apa di kota semahal Roma? Emang nggak banyak pilihannya… Ini beberapa favorit gue:

  • Kebab di dekat Stasiun Termini, tepatnya di Via D. Manin, jalanan kecil persis di sebelah kiri stasiun. Tempatnya sih emang agak ngeri gitu, yang jualan orang Bangladesh, yang beli juga kebanyakan para imigran. Buat gue disinilah Kebab paling enak sedunia, dagingnya banyak, rasanya pas, cuman € 3 saja.
  • Panini di dekat kampus, tepatnya di Via Dei Serpenti, dekat Coloseum. Lo bisa milih isi Panino sesuai selera. Biasanya gue akan memilih mozarella, tomat kering, jamur, tuna, atau terong, atau daging kalkun asap. Kalau lo bisa makan babi pilihannya lebih banyak lagi. Harganya untuk 3 macam isi Cuma € 2.5.
  • Pizzetta di Via Dei Serpenti. Ini adalah potongan Pizza berbagai jenis dengan besar potongan sesuai selera. Harganya untuk setiap potongan Pizza biasanya ditentukan dengan beratnya. Jadi semakin besar potongan, semakin mahal harganya. Biasanya dengan € 4 kita sudah dapat potongan Pizza cukup besar dan cukup mengenyangkan.
  • Insalata atau salad di Campo dei Fiori. Salad di Italia itu sudah bisa dijadikan satu menu makan siang karena posrinya yang cukup besar dan sudah dilengkapi dengan roti. Nutrisinya juga lengkap kok, karena biasanya di salad sudah dilengkapi dengan tuna, telor, atau jamur sesuai selera. Jangan berpikir kalau salad itu harus dilengkapi dengan dressing Thousand Island atau Mayonaise, karena kalau di Italia dressingnya Cuma Olive Oil, Acetto Balsamico, dan garam.

Siang itu gue dan Diana memutuskan untuk makan seketemunya aja. Pilihan makanan murah nggak terlalu banyak di dekat San Pietro, tapi akhirnya kita berhasil menemukan toko penjual Pizzetta atau Pizza potong di Via Ottaviano yang rasanya biasa aja, tapi lebih mahal. Potongan kecil setelapak tangan Pizza dengan toping udang dihargai € 5….

Merasa kurang puas, kita berdua sepakat untuk menutup makan siang dengan Es Krim terenak di Roma versi kami, yaitu di La Palma dekat Pantheon. Makannya pun di Piazza depan Pantheon, monumen favorit kami berdua. Hanya dengan duduk di bawah air mancur menghadap ke Pantheon, rasanya inspirasi dan daya khayal seakan merasuk kencang. Monumen peninggalan Kaisar Adrianus ini memiliki daya pikat magis. Dengan 26 pilar raksasa di depannya dan kubah antik terbesar di dunia membuat bangunan ini menjadi salah satu keajaiban arsitektur pada jamannya, bahkan sampai sekarang para arsitek masih berguru pada struktur bangunan kubah yang simetrisnya sempurna ini.

Sekarang Pantheon sudah mengalami perubahan fungsi yang tadinya kuil untuk memuja dewa matahari, menjadi gereja katolik. Karena itu untuk masuk Panteon tidak dikenakan biaya sepeserpun. Itu yang gue suka dari Roma, semua gereja yang menjadi milik Vatikan masuknya gratis. Nggak seperti di Spanyol, atau di banyak kota lain di Eropa.

Dari Pantheon biasanya kita ikutin aja rute turistik berikutnya, yaitu Piazza Navona kemudian Campo dei Fiori. Menjelang sore kita nggak mau ketinggalan menikmati matahari sore di langit biru yang cerah dari dekat Coloseum.

Pemandangan sore hari yang cerah dari depan stasiun Metro Coloseum memandang monumen gigantis itu adalah pemandangan paling spektakuler di Roma. Tanpa harus membayangkan kisah mengerikan yang pernah terjadi di arena pertarungan manusia ini, Coloseum memiliki keindahan yang mengundang decak kagum bagi siapapun yang memang menghargai karya arsitektur. Kekaguman gue ini agak kontras dengan komentar rombongan turis Indonesia yang secara nggak sengaja nyenggol gue saat mereka lagi heboh foto-foto. Mereka ini adalah rombongan yang ikut tur dari Indonesia, ada sekeluarga bapak ibu, anak-anaknya yang masih kecil, lengkap dengan kakek, nenek, dan tantenya. Setelah basa-basi dedikit mereka melontarkan komentar yang buat gue lebih basi dari basa basinya tadi. Dengan nada negatif, ekspresi muka nyinyir, si tante berkomentar..

“Ih bangunannya lusuh ya, kuno gini… Nggak bagus-bagus kaya waktu kita ke Singapore!!”

Speachless, nggak tau musti berkomentar apa, gue tersenyum sepet meninggalkan si tante dan keluarganya. Untung Diana nggak ngerti bahasa Indonesia, sehingga gue nggak perlu membela diri, menyelamatkan martabat bangsa Indonesia di depan dia. Ngapain juga mereka harus ke Roma kalau persepsi bagus mereka terbatas pada gedung-gedung modern, di Singapore lagi? Seharusnya si tante setidaknya menyebutkan kota yang lebih sebanding, seperti Hongkong, atau New York kek… Ini Singapore… Tersinggung gue, sampai Roma dianggap kalah menarik dari Singapore.

Matahari mulai terbenam menyinari Colosem, langit biru berganti menjadi kekuningan dengan sentuhan lembayung. Coloseum yang tadinya berwarna kecokelatan kini tersinari menjadi perunggu berkilauan. Beberapa saat kemudian saat langit mulai menggelap, pencahayaan semakin seru lagi, para arsitek pencahayaan sukses besar membuat bangunan berusia 20 abad ini berkilauan megah. Coloseum memang telah lama menjadi simbol Kota Roma. Bahakan para filusuf kenamaan sempat meramalkan kejayaan Roma bergantung dari Coloseum. Apabila Coloseum runtuh, maka Roma akan runtuh, apabila Roma runtuh, dunia akan hancur. Makanya meskipun sudah diterpa gempa dahsyat, kebakaran, bom dari Perang Dunia, Coloseum tetap dipertahankan, dan tetap kokoh berdiri sampai sekarang.

Gue dan Diana beranjak meninggalkan Coloseum menuju arah Via del Corso. Di jalan Diana sempat berkomentar,

“Ndra, lo tuh punya pacar nggak sih?”, tanyanya berhati-hati.

“Kenapa emang? Tumben bener lo nanya… “

“Yaaa, soalnya kita kan hampir tiap hari ketemu, gue nggak pernah ngeliat lo pacaran, cuman kayaknya sering banget lo terima telepon yang mesra-mesra gitu.”, jelasnya.

“Sok tau loh, kan gue ngangkat telepon pake bahasa Indonesia, lo kan nggak ngerti. Emang orang Indonesia tuh kalau ngomong mesra-mesra gitu, jadi kayak orang pacaran.” Jawab gue ngeles.

“Boong banget, jelas tadi lo kaya ketus gitu ngomongnya sama-ibu-ibu turis Indonesia itu…” Balasnya sewot.

“Oh, jadi kita tuh kalau ngomong sopan emang agak ketus kedengerannya, kalau ngomong biasa jadi agak mesra kedengerannya….”  timpal gue semakin mengada-ada.

Diana tidak membalas, Cuma terlihat ekspresinya yang keki sambil terus berjalan dengan kecepatan melebihi manusia normal.

Nggak kerasa kita sudah berbelok kanan dari Via del Corso yang merupakan distrik perbelanjaan paling ramai di kota ini. Jalan ini mengarah tepat ke Fontana di Trevi, air mancur paling ngetop di kota ini, mungkin juga termasuk air mancur paling populer di dunia.

Legendanya sih kalau kita melempar koin ke Fontana di Trevi, kita pasti akan kembali lagi ke Roma, yah setidaknya cukup terbukti dengan gue yang berhasil kembali lagi ke kota ini setelah melempar koin di tempat yang sama 10 tahun yang lalu.

Jam 8 malam, matahari musim semi sudah terbenam, tempat ini penuh sekali. Turis, tukang jualan mainan, tukang foto, copet, semuanya kumpul, menikmati salah satu monumen peninggalan rennaissance Roma yang bergaya arsitektur Romawi.. Para turis yang kebanyakan dari Jepang, Cina, dan Amerika pada asik berebutan tempat terbaik untuk foto dengan pose yang hampir sama semua, membelakangi air mancur sambil melempar koin ke arah belakang. Sementara itu para tukang jualan yang kebanyakan asal Bangladesh pada asik juga berebutan pelanggan sambil memaksakan dagangan mereka yang kebanyakan barang-barang nggak penting. Jualan mereka dari mulai balon sabun, mainan lilin, sampai ke mainan baling-baling bambu. Beberapa juga menawarkan jasa foto polaroid. Sedikit mengingatkan gue pada suasana di Monas tahun 80-an, waktu gue masih kecil.

Di tengah kerumunan ini kita berhasil menyelip masuk menempati spot terbaik versi kita, yaitu di ujung atas sebelah kanan air mancur. Di titik ini semua terlihat jelas, segala macam ekspresi tiap pengunjung. Ada satu pasangan yang mencuri perhatian gue malam itu. Yang satu berambut pirang lurus, yang satu lagi berambut kecokelatan dengan model spike modern. Mereka terlihat sangat bahagia berpelukan, sambil sesekali ciuman bibir. Di tengah kerumunan orang lalu lalang yang bisa mengalihkan perhatian, mata gue nggak lepas memandang pasangan muda belia ini yang sepertinya merasa dunia milik berdua. Mereka nggak peduli dengan sekeliling mereka yang berdesakan, saling mendorong, beberapa memandang iri, beberapa lagi memandang aneh ke mereka. Mungkin terdengar cheesy, tapi  melihat orang bahagia itu biasanya menular loh. Namun yang sekarang gue rasa justru mual, risih,  sedikit penasaran, tapi malah senyam-senyum sendiri.

“Eh lo ngeliatin pasangan itu ya?”, Tanyanya pelan.

“Eh, oh, ah…. pasangan yang mana?”, jawab gue kikuk

“Itu yang pirang sama yang rambut cokelat!”, tanyanya lagi dengan intonasi sedikit menginterogasi.

“Ah yang mana? Mana siihh? Gue nggak lihat….”, jawab gue mengelak.

Diana terdiam, tampak malas menambahi, karena mungkin dia sudah mengerti sendiri dan malas membahas kalau gue tadi sedang senyam-senyum memandangi pasangan laki-laki berambut pirang dan laki-laki berambut cokelat spike itu.


Catatan:

  • Di Roma, kalau lo harus memakai backpack, pastikan lo memanggulnya di depan saat menaiki kendaraan umum. Pegang terus kantong celana atau baju yang ada dompet atau barang berharga lainnya selama di kendaraan umum.
  • Bukannya rasis, tapi lo musti waspada kalau berdekatan dengan para gypsi, meskipun itu ibu-ibu tua atau anak kecil.
  • Kalau di cuekin atau di judesin sama pelayan toko atau pelayan restoran, kita musti ngotot. Bersabar itu nggak berlaku di Italia.
  • Peta kota Roma sangat mudah dibaca, beberapa monumen pentingnya saling berdekatan. Kalau lo masih muda dan sehat, lebih baik menjelajahinya sambil berjalan kaki, karena sensasinya beda dengan naik kendaraan.

 


 

Hari Yang Sempurna di Capri

Summer comes earlier in the Mediteranean. Nggak perlu menunggu sampai akhir Juni,  bulan Mei sudah bisa disebut Musim Panas di daerah selatan Italia. Salah satu weekend di akhir Mei adalah saat paling tepat untuk berlibur di daerah pantai, karena belum terlalu ramai, belum terlalu panas juga, langit cerah, matahari bersinar, pas banget untuk berjemur.

Weekend terakhir ini juga kebetulan gue lagi nggak banyak tugas kuliah, dan kebetulan juga Sinterklas kayaknya lagi semangat untuk ngajak jalan. Yang bikin dia semangat pengen keluar kota sebenarnya lebih karena butuh pelarian dari kerjaan di kantor yang akhir-akhir ini sering bikin dia uring-uringan. Awalnya sih dia nelpon gue cuman buat curhat, tapi sebelum dia mulai sesi panjang yang biasanya tiada akhir, langsung aja gue alihin pembicaraan menjadi rencana perjalanan ke Pulau Capri. Sekaligus gue saranin juga untuk ngajak anak-anak mahasiswa yang lain, supaya pas dia curhat dan gue males denger, masih ada yang lain yang bisa menanggapi dia, oportunis…

Perjalanan dari Roma memakan waktu sekitar 3,5 jam naik mobil sampai Napoli, itu juga karena gaya nyetir Sinterklas yang kayaknya lebih terbiasa mengendarai kereta rusa, pelan banget! Dari Napoli, kita terus ke selatan menuju Sorrento, kota kecil di pesisir selatan Napoli melintasi tepian pantai bertebing khas Mediterania. Pemandangan sepanjang jalan menuju Sorento ini seperti di film-film James Bond yang lagi kejar-kejaran di tepian tebing Monaco, hanya saja minus kecepatan tingginya. Mobil Mercedes C-Class warna silver yang disetiri Sinterklas seperti piring emas diisi sambel terasi, mubazir. Tapi karena nebeng dan dibayarin, gue, Mas Bagus, dan Hengky, tiga mahasiswa kere yang beruntung, cuma bisa geregetan, sambil sibuk sendiri foto-in jalan.

Pertama kali melihat Pulau Capri seingat gue itu bulan September tahun 2000. Bukan secara langsung, tapi melalui videoklip-nya Mariah Carey Against All Odds yang sebenarnya nggak keren-keren amat videoklipnya, cuman settingnya aja yang bikin gue penasaran; sebuah pulau kecil yang indah, di surga mediterania.

Selebihnya gue juga sering melihat pulau ini di Discovery Travel and Living sebagai salah satu lokasi liburan utama para selebriti dunia.

Capri terletak di sebelah barat daya Kota Napoli. Pulau ini adalah surga bagi para selebriti dan jet set dunia dengan yacht super mewahnya. Bahkan sebelum Paris dan Milan beberapa desainer terkemuka dunia terkadang mengeluarkan rancangan terbarunya di pulau ini.

Pulau ini juga bukan destinasi baru bagi wisatawan kelas atas. Sejak zaman kekaisaran Romawi, pulau ini sudah menjadi tujuan untuk berlibur para kaisar-kaisar Romawi. Bahkan Kaisar Tiberius pernah memerintah selama 10 tahun dari tahun 27 sampai 37 Masehi di Capri. 

Ada dua kota yang bisa menjadi persinggahan sebelum mencapai Pulau Capri, yaitu Napoli dan Sorrento.

Kalau lo milih berangkat dari Napoli, lo bisa naik Ferry dari Pelabuhan Beverello dekat Piazza Municipio (Town Hall Square). Kapal Ferry menuju Capri berangkat hampir tiap setengah jam dari jam 7 pagi sampai 9 malam. Tarifnya berkisar dari €8.60 sampai €17, tergantung jenis kapal dengan tingkat kecepatan yang lo pilih.

Gue sih lebih menyarankan untuk berangkat dari Sorrento, karena selain lebih dekat, kota yang sangat ramai saat musim panas ini memiliki karakteristik serta keindahan yang sangat unik.

Sorrento terletak di atas tebing, dimana untuk mencapai pantai dan pelabuhannya, kita harus menuruni anak tangga yang jumlahnya ratusan, terpahat di tebing batu, atau menyusuri jalanan aspal berkelok-kelok. Pemandangan menghadap laut dari Kota Sorrento ini tiada duanya. Bahkan nggak sedikit turis, termasuk kita berempat yang ingin mengunjungi Pulau Capri memilih untuk menginap di Sorrento karena hotel-hotelnya lebih murah. Awalnya sih kita pengennya nginep di Capri, tapi tarif hotelnya mahal-mahal banget, lagipula Sorrento juga ternyata nggak kalah menarik. Di malam hari, kota ini ramai sekali dengan pasar malam, pesta jalanan, dan gemerlap lampu dari cafe dan bar yang memenuhi jalanan kecilnya. Setelah menikmati keriaan malam di Sorrento, besok paginya kita langsung berangkat ke Pulau Capri.

Dari Marina Piccola, Sorrento, lo bisa naik Ferry atau jetfoils yang ada setiap 20 menit. Perjalanannya pun hanya memakan waktu sekitar 20 menit. Harga Ferry ini berkisar dari €8 sampai €12.5. Sebenarnya lo juga bisa bawa mobil ke atas Ferry, cuma sangat tidak disarankan, karena akan menyulitkan setibanya di Pulau Capri. Sebagai catatan Pulau Capri ini hanya memiliki sedikit sekali jalur aspal yang bisa dilewati mobil, itupun jalanannya cukup sempit.

Cara lain untuk mencapai Capri adalah tentunya cara yang digunakan oleh ratusan turis berkelas yang memadati pulau kecil ini, yaitu dengan Yacht pribadi. Atau kalau lo belum punya, lo bisa nyewa dengan harga termurahnya sekitar € 2000 atau 29 juta rupiah per hari.

Kita naik Ferry paling pagi, penuh sekali sesuai perkiraan. Kabin di dalam yang ber-AC sudah tidak meninggalkan bangku kosong sama sekali, di deck di luar udah kayak bubur manado, penuhnya minta ampun. Meskipun demikian gue sangat menikmati perjalanan kapalnya dengan duduk ngemper di deck kapal, karena cuacanya sempurna, cerah, namun tetap sejuk, pas untuk berjemur.

Begitu kita tiba di Marina Grande, pelabuhan yang ramai dengan latar belakang bangunan-bangunan bercat putih tersusun di kaki bukit, yang langsung kepikiran adalah dimana gue bisa mencari pantai buat berjemur dan berenang.

Kebetulan, tepat disebelah pelabuhan ada Marina Beach, pantai berbatu yang sudah dipenuhi oleh ratusan orang yang sedang berjemur demi mendapatkan kulit tan. Gue sih udah tan, tapi bodo amat, gue nggak pernah bisa nahan godaan untuk langsung nyebur dan leyeh-leyeh di pantai. Apalagi begitu ngelihat air laut yang jernih dan pantai yang bersih, ditambah langitnya lagi cerah banget dengan angin sepoy-sepoy, dan puluhan wanita cantik berbikini, nggak pakai pikir panjang gue langsung lepas baju, nyebur!

Seperti halnya orang Indonesia pada umumnya, Mas Bagus, Hengky dan Sinterklas malah neduh di warung, nggak mau sedikitpun kena matahari, alasannya apalagi kalau bukan takut hitam.

Kita memutuskan untuk naik kapal tur keliling pulau selama dua jam dengan tiket per orangnya € 25. Selain kita berempat, di kapal itu ada 6 wisatawan lainnya, kebanyakan sih orang Italia. Di awal perjalanan, kita berempat sempat bikin rusuh seisi kapal. Ketawa-ketawa nggak jelas, foto-foto dengan pose yang menantang bahaya, ditambah lengkingan falsetto setiap kali ada ombak besar. Sumpah ganggu!

30 Menit kemudian keceriaan itu perlahan berakhir. Sinterklas, dan Mas Bagus mabok laut akibat terpaan ombak yang cukup dahsyat siang itu. Untungnya gue baik-baik aja, jadi masih bisa menikmati birunya air laut di Lido del Faro dan La Fontelina, lokasi berenang paling ekslusif di Pulau ini. Kedua Lido ini adalah tepian pantai berbatu yang banyak di gunakan pengunjung untuk menikmati birunya air laut di Capri.

Kekaguman memuncak saat kapal pesiar milik bangsawan arab menyingkap bongkahan batuan besar di tengah laut dengan lubang ditengahnya yang bisa dilintasi kapal kecil. Kalau lo ingat iklan parfum Dolce & Gabbana Light Blue, itu latar belakangnya batuan ini, atau lazim disebut Faraglioni.

Tur kapal ini juga termasuk mengunjungi Grotta Azzura, atau Gua Biru, sebuah gua di tepi laut dengan stalaktit dan stalagnitnya yang bisa dikunjungi dengan menggunakan kapal kecil. Sayang kita nggak bisa terlalu lama di Capri, padahal katanya sih gue ini paling seru dikunjungi di sore hari sambil berenang, saat kapal-kapal turis sudah tidak ada.

Kasian Sinterklas dan Mas Bagus sama sekali nggak menikmati pemandangan indah tadi. Bahkan mereka juga melewatkan foto-foto di Faraglioni dan Grotta Azzura. Muka mereka udah pucat banget dan bt, pengen ngetawain tapi kasian…

“Cukup!! Nggak ada lagi naik kapal, mulai sekarang kita di daratan aja!” keluh Sinterklas.

Apapun kata dia mah kita nurut aja, orang dibayarin, lagian kasian juga ngelihat mukanya yang kaya nahan muntah gitu. Kita akhirnya memutuskan untuk naik Funicular sampai ke pusat kota, atau terkenal dengan nama La Piazetta.

Perjalanan dengan kereta yang berjalan menanjak lebih dari 45 derajat ini ada sensasinya sendiri. Agak tegang karena nggak yakin kalau kereta ini bisa mengangkat puluhan turis yang memenuhi kereta sampai keatas. Apalagi kereta ini juga mengeluarkan bunyi-bunyian yang agak kurang meyakinkan.

Hanya 10 menit di kereta, keluar dari stasiun, tiba-tiba kita sudah berada tengah-tengah meja dan kursi-kursi yang memadati alun-alun kota, diisi oleh para penduduk dan turis yang sedang makan siang, atau cuman ngobrol-ngobrol saja.

La Piazzetta dulunya merupakan pasar kota, dan sampai sekarang tetap menjadi pusat berbagai kegiatan di Pulau ini. Disini mungkin banget lo akan duduk di sebelah politisi atau bahkan selebriti dunia saat lagi ngopi-ngopi. Siang itu gue melihat dari dekat Gianluca Zambrotta, pemain bola Itali, duduk bersama seorang cewek cantik banget.

Kita makan siang di Terrazza Brunella yang nggak jauh dari situ. Tempat duduk yang kita pilih adalah yang di pojokan dekat jurang. Pemandangannya luar biasa. Villa-villa mewah berwarna putih yang menjamur diantara kehijauan, bukit, bunga bougenville berwarna warni, perkebunan lemon, dan laut mediterania di kejauhan membentuk suatu lukisan alam yang sempurna.

Gue pesen Risotto alla Pescatore, nasi Italia yang dimasak dengan kerang, udang, cumi, ikan, dan lobster kecil, ditemani dengan salad dan white wine. Sebagai penutup kita pesan sorbeto di limone, atau eskrim lemon. Ini makan siang yang sempurna, rasa yang pas, suasana yang menyenangkan, harga yang lumayan mahal sih, tapi kan dibayarin. Untuk Risotto alla Pescatore yang gue pesan, Sinterklas harus membayar €15. Secara keseluruhan bill makan siang yang dibayar Sinterklas sebanyak € 93 untuk berempat.

Abis makan siang terlihat muka Sinterklas dan Mas Bagus sudah segar lagi, kaya orang baru dapat THR. Makanya kita memutuskan untuk membakar kalori sambil berjalan mengelilingi pulau.

Jalan-jalan sama orang Indonesia itu banyak ribetnya, pertama, jalannya pelan banget, lalu dikit-dikit foto, dan yang paling mengganggu adalah perhatiannya gampang banget teralihkan oleh toko-toko. Karena nggak sabar menunggu mereka belanja, jadi gue memutuskan untuk jalan-jalan sendirian dan janjian ketemuan di Piazzetta nanti sore.

Untuk pulau yang kecil, Capri ternyata memiliki jalur pejalan kaki yang sangat beragam. Lo bisa milih untuk berjalan diantara pedesaan nelayan yang masih sangat asri dengan kesibukan para nelayannya, menjelajah gua pinggir laut, berjalan diantara tebing batuan di pinggir laut, atau melintasi perkebunan olive dan lemon. Gue milih untuk berjalan menyusuri jalur yang menuju ke pusat Capri, sambil melewati butik-butik dan hotel mewah, galeri seni, gerje-gereja tua, dan reruntuhan istana Romawi.

Dari La Piazzetta gue melewati Via Camarelle, jalan yang dipenuhi butik desainer kelas atas seperti Gucci, Ferragamo, dan Dolce & Gabbana. Kebetulan waktu itu butik-butik ini lagi dipadati sama ibu-ibu arab yang didampingi bodyguard-bodyguard mereka yang bertubuh besar, berjas, dan berdasi, sambil ngebawain kantong belanjaan mereka yang banyak banget. Mereka pasti istri-istrinya salah satu sultan arab.

Gue terus berjalan menuju Charterhouse of St. Giacomo, bekas biara yang dibangun pada abad ke 14, sampai ke Garden of Augustus. Taman yang dibangun untuk menghormati kaisar Augustus. Nggak jauh dari situ ada yang namanya Punta Tragara, sebuah tebing dimana kita bisa melihat pemandangan tepi pantai capri dengan Faraglioni di kejauhan. Villa-villa putih, taman, dengan lautan yang biru membentuk suatu lukisan yang sempurna.

Dari sini gue berjalan menyusuri Via Tragara, jalanan kuno yang dibangun pada zaman Romawi, dimana sekarang kanan kirinya dipadati oleh hotel-hotel mewah.

Pengennya sih jalan terus, tapi gue baru sadar kalau gue udah ninggalin temen-temen yang lain di butik-butik Via Camarelle, jadinya terpaksa balik nyamperin mereka. Sudah hampir sejam padahal, ternyata mereka masih disana sambil mengamati pernak-pernik souvenir khas Capri tapi nggak megang kantong belanjaan sama sekali….

Lanjut lagi gue berjalan menuju titik tertinggi pulau ini, dimana gue menemukan reruntuhan Villa Jovis, bekas rumah kaisar Tiberius. Villa ini dibangun tepat di ujung tebing dengan alasan pivasi dan keamanan, karena Tiberius takut dirinya akan dibunuh. Menurut sejarah juga dikatakan kalau dia juga sering melempar orang-orang yang tidak disukainya dari tebing ini.

Berjalan-jalan di reruntuhan yang sangat indah dan damai ini agak sulit membayangkan kalau hal-hal buruk pernah terjadi disini.

Agak lama gue berdiam disana sambil bengong sendiri membayangkan sang belahan hati di tanah air. Dia pasti akan senang sekali kalau suatu hari kita bisa kesini berduaan saja. Tanpa sadar ternyata gue sudah kelamaan bengong sampai disusulin ketiga teman gue yang masing-masing sudah membawa kantung belanjaan. Sudah hampir setengah lima, mereka mengingatkan kalau kapal terakhir ke Sorrento itu jam 5 sore. Agak panik membayangkan perjalanan turun gunung yang tidak dekat, apalagi satu-satunya cara turun adalah dengan naik Funicular yang tentunya akan dipadati oleh ratusan turis lainnya.

Setelah berlarian menuju Funicular, dan mengantri cukup lama di terminal Funicular, akhirnya kita sampai di pelabuhan 4 menit sebelum jam 5. Sambil berlarian mengejar kapal yang bentar lagi pintunya akan segera ditutup, Sinterklas tiba-tiba keram di jalan. Walhasil kita terpaksa harus membopong sosok seberat 110 Kg yang rewel karena kesakitan. Untungnya Mas Bagus sudah terlebih adhulu berlari ke petugas kapal memohon agar kami tidak ditinggal.

Beruntung di kabin kami masih mendapat tempat duduk sambil memandangi Pulau Capri yang baru aja ditinggalkan dari kejauhan. Di depan ada ibu-ibu Italia yang sudah berumur dengan pakaian rapi bak bangsawan, rambut sasak, sambil menenteng keranjang berisi anjing kecil piaraannya. Ibu ini tiba-tiba mengeluarkan ponselnya yang masih sangat terawat. Sebuah Ponsel Ericsson besar seri 600 lengkap dengan antenanya. Seingat gue ponsel ini sudah berhenti produksi dari tahun 1999, namun ibu ini dengan setia tetap merawatnya sehingga masih bisa digunakan sampai sekarang. Itu yang gue salut dari Orang Italia, kemampuannya merawat sesuatu. Tidak Cuma bangunan bersejarah, barang digital, alam pun mereka rawat dengan sangat baik, dipercantik, namun tetap mempertahankan keasliannya. Alam Capri tidak berubah dari sejak Kaisar Tiberius memerintah Kerajaan Romawi dari Istananya yang terpencil. Untuk itu kita sebagai bangsa yang mengaku memiliki alam yang indah masih perlu banyak belajar.

Dari Sorrento kita langsung pulang menuju Roma, Sinterklas yang nyetir setelah keramnya berangsur menghilang. Hari ini sangat sempurna, kita berempat menemukan kepuasannya masing-masing. Temen-temen mungkin puas karena sudah berhasil belanja barang-barang up to date, gue puas udah ngelihat suatu keindahan yang selama ini hanya ada di mimpi…

Catatan:

  • Kalau budget terbatas, mending menginapnya di Sorrento saja, tidak kalah menarik dan lebih murah.
  • Pelajari dulu peta san objek-objek menarik yang bisa dikunjungi di Capri, karena kemungkinan tersesat di pulau ini cukup tinggi.
  • Jangan terlalu menghemat dengan tidak mencoba masakan lokal disini. Karena kenikmatan jalan-jalan di Capri salah satunya adalah menikmati pasta alla pescatore khas Capri.

2 Responses to “Cerita-cerita (racconti)”

  1. Henny Panda Says:

    bagus blog nya…. punya gaya penulisan yg khas hehhee…
    dikasih foto2 nya dong… biar semakin mantaap bayangin Itali nya…. biar ngeces liat pulau capri….

  2. pelancongnekat Says:

    terimakasih Henny… Nanti ditambahin deh.


Leave a comment